“Titik  Bukan Koma”

“Berjanjilah El, jangan pernah meninggalkan sholat dan istiqomahlah berjilbab. Karena banyak perempuan di luar sana yang berjilbab tetapi sedikit sekali yang mampu beristiqomah.” Pesan terakhir perempuan berkerudung lebar itu sambil memeluk sahabatnya yang sedang menggugu di bahunya dengan erat. Pesawat yang akan lepas landas membawa raganya menuju tempat pendalaman ilmu agama di Egypt telah mendengung, menyalakan mesin.

Lima menit tersisa. Pesawat akan lepas landas menuju Negeri Piramida. Awak kabin pesawat memeriksa para penumpang yang akan melakukan perjalanan dan segera memberi intruksi kepada pilot jika semuanya telah siap. Tak ketinggalan, mereka juga memperhatikan keamanan setiap penumpang, menonaktifkan ponsel, memasang sabuk pengaman, dan memastikan semua peralatan termasuk pintu serta papan luncur darurat berfungsi dengan baik. Perjalanan ini cukup jauh. Memakan waktu hampir dua belas jam tanpa transit.

Perempuan berhijab pashmina itu melambaikan tangan. “Hati-hati Naya. Aku pasti merindukanmu.” Naya sudah menginjak tangga pertama pesawat. Namun kemudian dia berhenti. Ada sesuatu yang tertinggal. Dia kembali memeluk sahabatnya. Ada kalimat terakhir sebelum ia pergi yang ia bisikkan di telinga sahabatnya itu.

“Putuskan Faiz, El. Bukan untukku. Tapi untuk kebaikanmu.”

“Nay!”

Jam beker berdering melenyapkan mimpi buruk dalam sekejap. Keringat dingin mengucur dari atas dahi perempuan itu. Nafasnya menderu. Tangannya kuat menggenggam selimut. Sayangnya, kejadian buruk itu bukan hanya sebuah mimpi, melainkan kenyataan pahit yang harus ia terima beberapa jam yang lalu.

Siluet jingga di ufuk timur berangsur menghilang. Langit terlihat bersih tak tersaput awan. Saatnya melakukan aktivitas rutin setiap pagi. Pasukan berseragam siap mengemban tugas masing-masing. Kendaraan bermotor meraung-raung sambil beradu klakson karena lampu hijau telah menyala. Asap hitam dan tebal membungkus jalanan yang semakin sesak. Barisan beruntun alias macet pun tak terhindarkan. Seorang gadis berseragam putih abu-abu nekad keluar dari taksi dan memilih berlari menuju sekolahnya karena ia hanya memiliki waktu lima menit untuk sampai di sekolah sebelum gerbang sekolahnya ditutup. Hari ini adalah hari senin. Ceremony time!

“Elsa!”

Pria bertubuh jangkung dan berlesung pipit itu mendekati Elsa yang masih tersengal karena telah berlari cukup jauh. Sepetinya ia memang sengaja menunggu kedatangan Elsa di halte. Ya, pria ini adalah bagian dari argumen Elsa tentang alasan kepergian Naya. Setiap ia melihat lelaki yang ada di depannya ini, dia akan teringat pada Naya, sahabatnya. Itu sebabnya, ia rela melepas kekasihnya itu atas permintaan sahabatnya. Namun masih ada satu pertanyaan yang mengganjal di pikirannya. Pertanyaan yang mungkin hanya bisa dijawab oleh Naya. Apa maksud dari permintaan Naya agar dia memutuskan Faiz untuk kebaikannya?

“El, aku mau bicara sama kamu pulang sekolah bisa?” Faiz melempar tatapan serius. Belum pernah sebelumnya ia seserius ini dengan Elsa. “Aku tunggu di taman sepulang sekolah.”

Faiz berlalu meninggalkan Elsa yang masih tercengang. Elsa tahu apa yang akan dibacarakan oleh Faiz. Pasti ia ingin menanyakan perihal mengapa Elsa mengakhiri hubungan mereka berdua secara tiba-tiba. Elsa tidak tahu jawaban apa yang akan ia berikan atas pertanyaan Faiz nanti. Sungguh Elsa dalam kegelisahan. Setengah hatinya bersembunyi dalam tanya.

Matahari berangsur naik. Upacara bendera telah selesai dilaksanakan seperti biasanya. Semua murid kembali ke kelas masing-masing. Para guru masih melaksanakan rapat rutin setiap hari senin setelah upacara. Terkadang ada yang berbagi nasi kotak karena ada guru yang mempunyai hajat. Oleh karena itu kelas masih kosong dalam beberapa menit ke depan.

“El.” Ada yang menepuk Elsa dari belakang.  “ Ntar hang out bareng ya? Kan udah lama kita nggak hang out bareng. Ya nggak, Na?” Rara meminta dukungan atas argumennya.

“Iya, El. Semenjak lo bertemen sama Naya, lo jadi jarang hang out sama kita-kita. Ntar kita ke Mall deh, terus makan di resto favorit kita dulu, terus nongkrong di cafe. Gue yang traktir deh.” Yana yang notabene anak orang kaya ringan saja berkata seperti itu. “Gue kasih apapun yang lo mau di Mall.” Rara menambahkan. Ia juga anak seorang pejabat. Dan memang, Elsa, Rara, dan Yana adalah anak-anak konglomerat. Wajar saja dulu mereka membentuk sebuah geng. Paras yang cantik dan didukung dengan modal yang lebih membuat mereka menjadi hits di sekolah. Siapa yang tidak mengenal Elsa, Rara, dan Yana. Tiga primadona sekolah yang membuat semua kaum adam tak berkedip jika mereka jalan bersama.

“Gimana, El?”

Elsa masih mematung. Banyak sekali hal yang ia pikirkan saat ini. Ada sekelumit konflik pada batinnya. Dia ingin sekali berhijrah, dia tidak ingin menjadi Elsa yang dulu. Elsa yang suka menghambur-hamburkan uang, yang suka pacaran putus nyambung seenaknya, yang tidak pernah sembahyang, dan jauh dengan Tuhan. Tetapi apa salahnya jika ia menyambung silaturahmi dengan teman-temannya ini? Naya pernah bilang, kalau kita tidak boleh memutuskan tali silaturahmi. Tuhan sangat membenci hal itu.

“Oke, boleh.”

“Yash!” Rara dan Yana kompak berseru.

Bel kedua tanda masuk kelas telah berbunyi. Rapat rutin di ruang guru telah usai. Para guru siap memberi ilmu di kelas masing-masing.

Hari berlalu begitu cepat. Matahari berangsur terbenam. Senja di sore hari tetap menjadi suasana mengesankan. Burung-burung berpulang ke dalam sangkar sebab perut mereka telah kenyang. Setelah sekian lama akhirnya tiga primadona sekolah kembali bersatu sebab selama ini Elsa sedikit menjauhi mereka karena khawatir tidak akan bisa lepas dari tabiat buruknya. Mobil sporty berwarna pink menyalakan lampu, siap membelah jalanan petang ini. Rara memegang kendali mobil. Mereka masih sama seperti dulu. Bercanda bersama, ngobrol soal makanan, trend style yang  kekinian, dan banyak lagi yang mereka perbincangkan. Hanya saja ada yang sedikit berbeda dengan Elsa saat ini. Dia telah mengenakan hijab.

Setengah jam berlalu. Mobil sport berwarna pink sempurna berhenti di basement salah satu Mall terbesar di daerah ibu kota. Mall itu terdiri dari lima lantai. Setiap lantai menyuguhkan pelayanan yang beraneka ragam. Berbagai macam jenis stand tersedia disana. Mulai dari kebutuhan primer hingga tersier. Soal harga, tak perlu diragukan, hanya orang-orang kelas menengah ke atas yang bisa menjangkau barang-barang di Mall tersebut.

Yana dan Rara sudah malanglang buana di semua toko hingga penjuru gedung bertingkat itu. Utamanya toko pakaian, tas, dan sepatu. Sedangkan Elsa hanya membeli beberapa jilbab dan gamis saja.

“This time to pray, girls.” Elsa menunjukkan alarm waktu sholat di ponselnya karena suara adzan hampir tidak terdengar jika di dalam Mall.

Rara dan Yana seketika berhenti memilih sepatu-sepatu tersebut, diam terperangah melihat Elsa. Jangankan sholat, memakai mukena saja mereka tidak pernah. Terakhir kali waktu kelas enam SD saat ujian praktek sholat. Apalagi tentang bacaan-bacaan sholat. Tentu saja mereka sudah lupa.

Elsa melangkah terlebih dahulu. Rara dan Yana mengekor di belakang seperti anak kecil yang mengikuti ibunya jika sedang menginginkan sesuatu. Mereka bertiga menjalankan sholat maghrib berjamaah. Elsa sebagai imam melantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan merdu. Hingga salam terakhir, Rara dan Yana dibuat terenyuh oleh bacaan yang dilantunkannya. Iya, Elsa belajar semua ini dari Naya. Tidak ada kata terlambat untuk mengenal sang pencipta selama kartu nama Tuhan itu masih ada. Al-Qur’an adalah petunjuk bagi siapa saja yang ingin mengenal sang pencipta. Kata Naya pada suatu hari.

“El, lo belajar ngaji dari Naya, ya?” Yana memecah keheningan di dalam mobil. Kali ini dia yang memegang kendali. Mereka bertiga sudah puas berbelanja. Terutama Rara dan Yana. Kini saatnya pulang dan beristirahat. Lagipula sekarang sudah larut malam. Langit sudah terlampau gelap. Cahaya rembulan tidak begitu terang sebab ada mendung menghalangi. Bintang gemintang tidak tampak. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.

Elsa mengangguk.

“Umm, terus si Faiz apa kabar, El?”

“Faiz?” Elsa seperti teringat akan sesuatu. Tangannya refleks merogoh isi tas, mencari ponsel. Elsa menggeser screen lock ponselnya.

25 missed call from Faiz.

“Kenapa, El?”

Aku tunggu di taman sepulang sekolah.” Kalimat ini tiba-tiba saja terbesit di pikiran Elsa.

“Ya Tuhan..” Elsa mendengus sambil menepuk keningnya. “Kita ke taman belakang sekolah sekarang, Yan!” Elsa berseru.

“Ngapain, El? Ini udah malem. Bentar lagi juga bakalan hujan.”

“Gue lupa ada janji sama Faiz, Ra!”

“Dia udah balik kali, El. Lagipula mau turun hujan juga. Udahlah kita balik aja.” Rara menyangkal permintaan Elsa.

“Ya udah kalo kalian gak mau anter gue, gue bisa naik taksi kok.”

“Eh.” Rara refleks menahan tangan Elsa. “Oke, kita anter. Lo jangan nekad naik taksi sendirian, oke? Ini udah malem. Bahaya.”

Mobil sport berwarna pink kembali menyalakan mesin. Sorotan lampunya menabrak kegelapan. Penyeka kaca mobil mulai digerakkan sebab hujan sempurna mengguyur kota Jakarta. Elsa masih cemas dengan Faiz. Bagaimana bisa dia lupa dengan perkataan Faiz tadi pagi. Pikiran Elsa semakin kacau. Apakah Faiz masih bertahan seperti adegan klise di film-film roman pada umumnya? Ataukah ia sudah pulang dengan membawa selaksa cedera dalam hatinya?

“Stop, Yan!” Ban mobil berdecit melindas jalan. Elsa mengeluarkan payung kecil dari tasnya. Tanpa pikir panjang, ia turun dari mobil dan berlari menuju taman. Tak peduli sepatu kets yang ia kenakan kotor karena sempat jatuh ke dalam genangan air. Elsa celingukan mencari seseorang yang sangat ia harapkan bisa muncul di hadapannya saat ini.

Namun taman itu kini sudah sepi. Tidak ada satu orang pun disana selain Elsa. Bangku taman yang biasanya  ia duduki bersama Faiz pun kosong. Para pedagang kaki lima sudah sedari tadi membereskan dagangannya dan kembali pulang sebab hujan mengguyur begitu deras. Kilat menyambar permukaan tanah tiada ampun. “El! Faiz pasti udah pulang kali. Ini hujan deres banget. Mending kita balik deh.” Yana berseru. Suaranya beradu dengan debit air hujan yang semakin deras.

Elsa masih kukuh tidak ingin meninggalkan taman.

“Ting tung!” Ada satu pesan diterima dari ponsel Elsa yang sedari tadi digenggamnya. Screen lock digeser dengan cepat. Yana dan Rara pun ikut membaca pesan yang diterima Elsa.

From Faiz: Tepat pukul 09.00 pesawatku akan terbang ke amerika. Jaga diri baik-baik, Elsa. Aku akan selalu mengingatmu.

“Kita ke bandara, sekarang!” Elsa berseru. Yana dan Rara menurut saja. Mereka semua masuk ke dalam mobil. Mobil sporty berwarna pink kembali menyalakan mesin. Yana menginjak gas cukup kencang. Dia memainkan setir dengan mahir. Kakinya terampil mengontrol gas dan rem secara bergantian.

“Yan, ati-ati yan! Gue gak mau pulang bawa nama doang!” Rara berteriak histeris. Dia tak menyangka Yana akan menggunakan kepiawaiannya dalam balapan.

“Berisik lu, Ra!”

Yana hampir saja menyerempet mobil lain. Pijakan rem dan gas bergantian begitu cepat. Yana membanting setir dengan ekstrem. Untungnya, tidak ada mobil yang menjadi korban. Mobil sport berwarna pink terus melaju. Kecepatannya semakin bertambah. Yana sangat mahir memegang kendali mobilnya.

Decitan rem yang mulus terdengar menunjukann mobil sport berwarna pink yang baru saja melakukan aksi di jalanan telah berhenti. Tidak membuang waktu, Elsa, Yana, dan Rara segera berlari, masuk ke dalam bandara. Begitu banyak orang yang berlalu lalang disana. Elsa berusaha mencari pria jangkung yang berlesung pipit itu.

“Itu, El!” Rara berseru.

Mereka bertiga berlari menuju arah yang diintruksikan oleh Rara. Baju seragam setengah kuyup dan sepatu kets yang bernoda meninggalkan jejak di atas lantai bandara. Meski begitu, mereka tak peduli jika akan mendapat teguran dari pihak bandara. Yang mereka inginkan saat ini hanyalah Faiz.

“Faiz!” Elsa berseru.

Tepat sasaran. Pria jangkung yang membawa tas ransel berwarna hitam itu menoleh dan menghentikan langkahnya.

“Tunggu, Iz.” Nafas Elsa masih tersengal. “Jangan pergi. Aku minta maaf karena ..”

“Sstt…keputusan kamu itu sudah benar, Elsa.” Faiz mengusap kepala Elsa seperti anak kecil. “Aku mau ketemu sama kamu itu bukan karena ingin meminta penjelasan atas hubungan kita yang berakhir. Tapi karena aku akan pergi ke amerika dalam waktu yang lama. Aku mau pamit.”

“Kamu marah sama aku Iz? Makanya kamu mau pergi ke amerika dan melupakan semuanya?”

“El, aku pergi karena cerita kita sudah berakhir. Bukan aku marah atau kecewa sama kamu. Tapi dengan adanya aku tetap disini, cerita yang lebih indah tidak akan bisa dimulai, El. Tuhan mempertemukan aku, kamu, dan Naya itu karena sebuah alasan. Dan Tuhan memisahkan aku, kamu, dan Naya juga karena sebuah alasan.”

Elsa terisak. Hatinya sedang menangis.

“Inikah yang dimaksud Naya untuk kebaikan? Perpisahan bukanlah sebuah kebaikan, Iz. Kenapa Tuhan tidak suka jika kita bersatu?

“Sstt..Tuhan itu sayang sama kamu, El. Dia cemburu kalo aku jadi pacarmu. Dia nggak suka sama hambaNya yang menghalalkan cinta karena nafsu. Ini yang dimaksud Naya karena kebaikan. Jadi sekali lagi, El, keputusanmu itu sudah benar. Jangan bangga karena kamu punya pacar. Tapi banggalah karena kamu punya Tuhan yang akan menjagamu layaknya seorang pacar.”

Elsa semakin terisak. Dia telah berprasangaka buruk kepada Tuhannya.

“Sayangi Tuhanmu, El. Maka Tuhan pun akan mencintaimu lebih dari kamu mencintai Dia. Karena Tuhan adalah pemilik cinta yang hakiki. Percayalah El, Tuhan akan menyusun ulang cerita kita bertiga menjadi jauh lebih indah. Jaga dirimu baik-baik disini. Aku pergi dulu. Assalamualaikum.”

Seperti de javu. Dua hari yang lalu, Elsa baru saja melepas satu sahabatnya di bandara yang sama. Kini, dua sahabatnya sempurna meninggalkan Elsa.

“Waalaikumsalam. Jaga dirimu baik-baik, Iz. Kamu dan Naya akan tetap menjadi bagian terindah dari cerita panjang kehidupanku. Selamat tinggal..”

Elsa berusaha ikhlas. Semua yang terjadi adalah karena Tuhan. Ikuti saja aturan main yang dibuat oleh-Nya. Maka ada saja kejadian-kejadian hebat yang tidak pernah kau sangka yang akan mengubah kehidupanmu menjadi lebih baik.

Tinggalkan komentar